Akhir-akhir ini berita kecelakaan pesawat cukup ramai terdengar, pesawat Sriwijaya SJ182 pun tak luput dari bahan pembicaraan setelah dikabarkan jatuh di sekitar pulau laki. Namun satu hal menarik yang perlu kita bahas ialah, seberapa besar sih peluang selamat jika mengalami kecelakaan pesawat, pesawat jatuh misalnya.
Nah berdasarkan fakta sejarah, bisa 100% selamat, bisa 100% tidak selamat.
Jadi yang namanya kecelakaan itu tidak bisa diprediksi.
Sriwijaya SJ182 yang naas jatuh hanya sekitar 5000–7000 kaki dari atas permukaan laut menewaskan semua kru dan penumpangnya,
Garuda GA421 dipiloti kapten Abdul Rozak, mengalami kerusakan mesin total di ketinggian 31.000 kaki sehingga terpaksa mendarat darurat diatas sungai Bengawan Solo (yang relatif sempit dan dangkal), dari 54 penumpang dan kru, satu meninggal ketika bodi pesawat robek menghantam permukaan
Kalaupun sebagian mungkin berkata “berbeda situasi itu, SJ182 stall (informasi awal tapi ada baiknya kita menunggu laporan resmi KNKT) sementara GA421 sekalipun jatuh dari ketinggian 31 ribu kaki tapi posisinya gliding jadi masih bisa cari tempat aman untuk mendarat”
Kami sarankan coba simak baik-baik kesaksian pilotnya, bagaimana dia sudah pasrah karena semua SOP sudah dijalankan tapi pesawat tidak kembali berfungsi. Atau bagaimana jika mereka membuat keputusan yang salah? bagaimana jika sama sekali tidak ada tempat yang aman untuk mendarat?
Contoh kasus lain ialah:
Pada tanggal 15 Januari 2009 pesawat Airbus 320 US Airways penerbangan 1549 mengalami mati mesin akibat serangan angsa kanada di ketinggian 2,818 feet (859 m), oleh seorang pilot berpengalaman Captain Chesley “Sully” Sullenberger berhasil menyelamatkan seluruh penumpang (155 orang) dari bencana dengan mendaratkan pesawat ini di sungai Hudson, Newyork.
Ada juga kejadian emergency landing pesawat Jetblue-292 yang nggak kalah dramatisnya, bisa baca disini.
Kesimpulannya:
Peluang selamat dari kecelakaan pesawat tidak ada yang bisa memprediki, bisa 100% selamat, bisa 100% tidak selamat.