Warning: Undefined variable $toReturn in /home/u1796959/public_html/idnpedia.com/wp-content/plugins/searchterms-tagging-2/searchterms-tagging2.php on line 1043
Halo sobat idnpedia, membaca judul Artikel ini pasti sudah tahu kan pembahasannya akan seperti apa. Haha
But, Artikel berikut bukan pengalaman pribadi Admin ya, melainkan tulisan menarik yang saya temukan di Internet ketika sedang mencari cerita cerita absurd.
Okay sebelum lanjut ke cerita utamanya, siapkan dulu cemilanmu karena ini akan cukup panjang, tapi dijamin kok gak membosankan.
Warning : konten 15+
Ketika di Indonesia, saya pernah membeli kondom hanya sekali saja. Saya sendiri sih tidak masalah, hanya saja mungkin di Indonesia imej tentang orang yang membeli kondom itu jelek. Berbeda dengan negara maju, katakanlah negara tetangga Singapura. Atau Korea, Jepun, dan negara Barat, di mana cara memakai kondom justru diajarkan sebagai bagian dari pendidikan seks dan seksualitas.
Lalu, ketika saya membeli kondom, bagaimana reaksi kasir? Mukanya merah kayak tomat (kasirnya perempuan), padahal saya sih biasa saja. Reaksi pengunjung lainnya, mereka semua terpesona akan ‘kegagahan’ saya. Padahal tampang saya minimalis, culun pula. Bingung, kan? Lagipula, ada hal lebih seru yang bisa saya ceritakan daripada hanya melihat reaksi kasir. Mau tahu? Ikuti saja ceritanya.
Cerita ini terjadi pada sekitar tahun 2006. Jadi, saya memiliki seorang sepupu yang namanya Anastasia. Panggilannya Tasya. Dia lebih muda 6 tahun dari saya. Tingginya 154–156an cm, dengan tubuh langsing dan rambut panjang. Tasya ini cukup dekat dengan saya dari kecil (ya namanya juga sepupu), dan kami sering jalan berdua supaya dikira pacaran. Tetapi, biasanya jika ada teman saya yang menurut Tasya ganteng, biasanya dia akan minta dikenalkan. Begitu juga sebaliknya, saya suka bertanya pada Tasya jika ada temannya yang cantik. Dari sekian temannya yang cantik, ada yang bernama Ami. Ami ini teman Tasya dari SMP, tetapi saya mulai mengenalnya dari SMA, karena Ami sering main ke rumah Tasya untuk mengerjakan PR dll. Ami ini sedikit lebih tinggi dari Tasya (160cm-an), dengan rambut hitam yang juga terurai panjang. Saya suka Ami dan sepertinya dia mengetahuinya, tetapi sepertinya status saya sepertinya ‘digantung’ olehnya. Dia juga tidak keberatan jika diajak jalan oleh saya, tetapi biasanya Ami tidak pernah jalan berduaan dengan saya. Selalu ada saja cewek lain yang mengganggu proses PDKT saya.
Singkat kata, Ami dan Tasya masuk kuliah di FK (Fakultas Kedokteran), di sebuah universitas yang terkenal di Jakarta. Terkadang, saya suka diajak Tasya menemaninya kuliah, terutama jika ada tugas yang mengharuskannya pulang malam. Kebetulan waktu itu, saya mengajar di sekolah yang libur kenaikan kelasnya bisa sampai 2 bulan, jadi di masa-masa nganggur tersebut jadilah saya ‘dipaksa’ menjadi supir sekaligus pengawalnya si Tasya. Terkadang dia suka membelikan makanan juga sih. Nah, suatu ketika, para mahasiswa – mahasiswi FK mendapat tugas dari mata kuliah Patologi Klinis. Bagi yang belum tahu, mata kuliah patologi itu dibagi dua : patologi anatomi (PA) dan patologi klinis (PK). Patologi klinis itu adalah cabang ilmu patologi (ilmu mengenai penyakit) yang menggunakan medium cairan dalam proses identifikasi dan analisisnya. Cairan ini bisa bermacam-macam, mulai dari darah, urine, cairan tinja, air mata, ludah, dahak, nanah, cairan sendi, cairan sumsum tulang, cerebrospinal fluid, wah pokoknya macem-macem cairan lah… ohya, dari nama-nama cairan yang sudah disebutkan ini, ada satu jenis cairan yang terlewatkan, yaitu…… cairan sperma. Bagi yang kuliah di FK pasti semuanya telah (atau akan) melalui masa-masa ini, di mana dosen PK (Patologi Klinis) akan meminta mahasiswanya untuk membawa cairan sperma untuk diteliti karakteristiknya. Untuk Ami dan Tasya, hal ini juga bukanlah pengecualian.
Oleh karena FK didominasi oleh kaum hawa, ‘berburu sperma’ ini cukup menyulitkan, terutama karena cowok-cowok FK ini biasanya tidak mau untuk memberikan spermanya. Alhasil, mereka harus ‘mencari di luar’. Bisa jadi bergerilya ke jurusan tetangga demi mendapatkan sperma. Dan ada saja yang tanggap akan ‘ritual berburu sperma’ ini dan menciptakan ladang bisnis baru, misalnya seperti ini : Heboh Pembelian Sperma Rp 50.000 Per Masturbasi, UGM Langsung Bantah. Saya sendiri sebelumnya sering ikut-ikutan kuliah di FK ketika masih berkuliah di Bandung dulu demi bisa dekat dengan si Maya, kécéngan abadi saya sejak SMA, jadi perkara berburu sperma ini bukanlah hal asing bagi saya. Nah, kembali ke cerita Ami dan Tasya. Singkat cerita, waktu itu si Tasya datang dengan Ami mengajak saya untuk naik mobil milik temannya yang lain. Mobilnya Tasya sendiri, ditinggal di parkiran. Kala itu sekitar jam 2 siang. Di dalam mobil sudah ada 2 temannya yang lain. Yang satu bernama Novi, rambutnya pendek dan terkesan sporty.
(ilustrasi : Haruka Ayase)
Yang satunya lagi namanya Renata. Rambutnya berombak, sangat cantik, lebih cantik dari Ami ternyata. Ini adalah pertama kalinya saya bertemu dengan Novi dan Renata. Renata saat itu yang menyetir mobil. Mobilnya Toyota Kijang kapsul, jadi memang bisa memuat banyak orang.
(ilustrasi : Komatsu Ayaka)
Di dalam mobil, kami berlima diam. Tidak biasanya si Tasya malu-malu untuk memulai pembicaraan. Novi yang paham akan situasi langsung memulai pembicaraan dengan santainya. Intinya ya sudah bisa anda tebak, tugas dari dosen adalah untuk mencari seseorang yang bisa ‘merelakan’ spermanya untuk dibawa besok pada mata kuliah Patologi Klinis. Waduh, untung kemaren ane kagak jadi maen sabun, pikirku. Masih terbayang penderitaan saya bertahun-tahun sebelumnya ketika si Maya memaksa ‘si otong’ untuk mengeluarkan muatannya, padahal sehari sebelumnya baru saja self-service. Saya lalu bertanya ke Novi, “iya, jadi gimana keluarinnya, kan butuh tempat”. Novi lalu menjawab, “ya gampanglah, nanti kita singgah aja di mana kek…. nah itu ada swalayan, kita singgah ke sana aja Ren, beli kondom”. Dan Renata pun mengarahkan mobilnya ke swalayan tersebut. Kami berempat lalu turun, saya berjalan sendiri, lalu Tasya, Ami, dan Novi memasuki toko bertiga dengan pura-pura tidak mengenal saya. Renata tetap tinggal di mobil. Ketiga mahasiswi itu lalu pergi ke bagian agak belakang untuk membeli snack. Sementara saya mengantri di kasir, waktu itu kondisinya agak ramai.
Ketika sudah giliran saya ke kasir, sang kasir perempuan itu lalu bertanya, “siang bapak, ada yang bisa dibantu?”. Saya dengan santainya menjawab, “mau beli kondom. yang pink ini sama yang biru sama yang item ini bedanya apa yah??”. Saya bisa berbicara dengan santai, karena memang saya tidak merasa akan menggunakannya untuk sesuatu yang buruk. Kasirnya lalu langsung kaget, lalu menjadi gugup, sambil bilang “anuuu, ituuu…… apa namanya, eh gimana yahh….”. Mukanya memerah, lalu ia berlari, memanggil pegawai laki-laki (ada 2 orang pegawai laki-laki), tetapi mereka malah saling tunjuk-tunjukkan dan akhirnya tidak ada yang mau ke posisi kasir untuk memberi penjelasan. Di belakang saya, ada seorang pria muda necis dengan celana dan kemeja kerja yang mengantri, dengan ditemani seorang perempuan yang bergelayut mesra. Entah siapa dia, pacarnya kah, istrinya kah, teman kantor kah, atau selingkuhan kah, saya juga tidak tahu. Tetapi karena kedua pegawai laki-laki itu tetap saja tidak ada yang mau datang ke meja kasir, antrian menjadi panjang karena tak terlayani. Laki-laki necis di belakang saya mulai menggerutu, “lama amat sih……”. Saya lalu langsung menyahut, “iya nih, padahal cuman ditanya tentang kondom doang, langsung kabur semua… payah… oh iya Pak, yang biru sama yang pink sama yang item ini bedanya apa yah?”. Pria necis itu lalu menjawab sinis (rada sewot mungkin), “kagak taulah…. emang lu pikir gua suka pake gituan yah….”, yang saya jawab spontan, “lah kan saya gag tau kalau bapak gapernah pake ginian… ya maaf atuh…”, dan setelahnya, reaksi teman wanitanya, langsung tertunduk dengan muka merah. Hmmmm…………
Karena saya tidak mendapat jawaban memuaskan, saya bawa saja itu kondom ke tiga cewek yang ngumpet di belakang tadi. “oiiii mi, kondomnya mendingan yang mana?”, maksud saya adalah memanggil si Ami, tetapi saya dengar orang berbisik-bisik, “masih pacaran aja udah panggil mami-mami…. dasar anak jaman sekarang….”, tapi saya tidak menghiraukannya. Ami langsung melarikan diri keluar swalayan setelah saya tanya seperti itu. Tinggal Novi dan Tasya. Novi lalu bertanya ke Tasya, “Tasya, yang mana nih??”, dan Tasya menjawab, “gatau ah, kalo gua mah ikut lo aja…. kan sama aja kan….”, dan kembali orang berbisik-bisik, “si mami udah keluar, ini dua orang ini lalu siapa?”, mungkin itu yang dipertanyakan oleh kumpulan orang kepo yang ada di situ. Novi lalu berkata ke Tasya, “yaudalah, pink ajalah, lu suka pink kan??”. Tasya hanya mengangguk pelan, sambil tetap menunduk. Semua mata tertuju pada kami. Saya pun lalu pergi ke kasir, tetapi yah begitulah, meja kasir kosong. Mungkin saat itu (tahun 2006), membeli kondom itu kesannya begitu memalukan atau bagaimana, saya tak mengerti. Saya sebenarnya agak kesal, karena menghabiskan waktu mengantri terlalu lama. Tetapi, sepertinya ada satu orang yang tak kalah kesalnya. Siapa dia? Ya, si Renata itu.
Kesal karena dari tadi ditunggu tapi kami gag balik-balik, Renata akhirnya masuk swalayan, lalu dengan suara yang tidak teriak juga sih, tapi cukup jelas terdengar, “oiii pi (maksudnya memanggil Novi), ayo cepet, kan lu yang mau, cepet bayar, biar bisa cepet dipake….”, dan semakin terperangahlah mata pembeli di situ, lah ini cewe cakep baru masuk kenapa manggil papi-papi segala??, mungkin gitu pikirnya. Astaga, gatau deh…… Lalu, akhirnya saya membayar kondom tersebut dan pergi. Sebelum pergi, pria necis di belakang saya tadi lalu bertanya, “dek, lo hebat banget, masih muda, punya istri empat, udah cantik-cantik, kagak berantem pula… apa sih rahasianya, bagi-bagi donggg… jangan pelit napa….??”.
Saya hanya bisa melongo ditanya seperti itu.
Saya belum sempat menjawab ketika wanita di sebelah pria tadi menjewer telinga pria itu. Cukup keras sepertinya, sekeras teriakannya……
Setelah membeli kondom, lalu kami pergi ke rumah Novi, di mana saya harus ‘menyalurkan cairan itu’ ke dalam kondom. Setelah selesai perjuangan yang melelahkan itu, saya dibawa kembali ke kampus, di mana mobil Tasya terparkir. Saya cukup lelah, sehingga Tasya yang mengemudi, mengantarkan saya ke sebuah tempat les, di mana saya mengajar di bimbel ketika sore hari. Pemilik bimbel itu, sebut saja si Joni, juga mengajar di situ.
Jam 5 sore, ketika saya sedang mengajar suatu kelompok les. Saya menerima SMS dari Tasya. Isinya “kak, yang tadi salah, [kondomnya] ada spermisidanya. bisa diulang gag?”. Saya tidak membaca SMS tersebut sebenarnya, sehingga akhirnya ada panggilan masuk. Dari Tasya. Karena saya tidak membaca SMS tersebut, saya tidak tahu apa yang terjadi. Saya mengangkat HP saya, lalu saya menyalakan speaker. Karena biasanya, percakapan saya dan Tasya tidak pernah aneh-aneh. Tapi, ketika itu, terdengar suara wanita lain yang saya kenal. Suara Ami. “kak, yang tadi ternyata caranya salah…… jadi bisa gag keluarin spermanya lagi….?? pokoknya KITA tungguin yahhh…… sebentar lagi Novi sama Renata juga ke sini….. please kaaakkk, pokoknya harus hari ini, maleman juga gapapa…. nanti kita jemput deh…..”. Lalu telepon ditutup sebelum saya sempat membalas. Seisi ruangan tempat les seketika hening. Siswa-siswa yang lagi berantem-beranteman seketika mematung dengan tangan berpegangan. Demikian juga siswi-siswi yang lagi tarik-tarikan rambut, langsung mangap mulutnya. Ohmaigat, hancurlah imejku sebagai anak alim yang kupupuk bertahun-tahun tanpa cacat cela ini……… rasanya ingin raib ditelan bumi….
…..dan tanpa sadar pinsil itu hancur tergigit……..
Si Joni pemilik les nafasnya menjadi cepat. Entah karena dia tak bisa menahan marah karena saya merusak reputasi bimbelnya. Atau karena dia berpikir saya ini cowok hareem yang digilai cewek-cewek. Atau mungkin dia diem2 suka saya, ya kagak tau juga sih…… Yang pasti, itulah hari terakhir saya mengajar di bimbelnya. Astaga, Joni Joni…. gile aje lo ndro, kagak tau ape, gue juge [waktu itu] singel droooo, jooombloooooo, kayak enteeeee…………… joommmblooooo………..astagaaaaaaa…………..
Dan jangan lupa, setelah itu saya masih harus diminta untuk ‘memperbaiki kerjaan saya yang tidak benar’ itu. Tau sendiri lah yah, terutama yang cowok, sehari dua kali itu capeknya kayak apa.
Begitulah, akibat kondom, saya harus kehilangan pekerjaan (untungnya, pekerjaan sampingan, sih). Dan menurut saya, reaksi kasir itu tidak ada apa-apanya dibandingkan reaksi orang-orang lainnya. Yah, terima kasih sudah berkenan mampir ke sini. Mohon maaf jika ada kesalahan penulisan ataupun pemilihan kata.
Satu pesan dari saya adalah, saya tidak menganjurkan seks pranikah, tetapi jika terpaksa, lebih baik menggunakan kondom daripada tidak. Anda malu ketika membelinya? Percayalah, rasa malu yang anda tanggung itu masih lebih kecil daripada rasa malu yang harus saya tanggung. Jika masih malu bagaimana? Ya, jangan berhubungan seks. Itu saja.
—-akhirnya, bagi sobat idnpedia yang ingin menelusuri sumber Artikel ini bisa ke link berikut ini—-
~Cheets, :p